Romansa dalam Bingkai Undang-Undang (part 1)
Semenjak
disahkannya UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah,banyak bermunculan
daerah2 yang baru secara administratif. Disini saya ingin sedikit memberi
ulasan berdasarkan pengamatan di lapangan,dan olehnya itu saya mengambil satu frame untuk diangkat. Dan saya
menemuinya di tanah kelahiran saya sendiri, Kabupaten Wajo. Di luar fakta bahwa
gerakan perjuangan masyarakat di bagian utara untuk memisahkan diri dari
kabupaten Wajo yang terkesan sporadis, setidaknya saya menilai ide tersebut
adalah pilihan yang rasional. Perlu saya jelaskan, jika dipetakan wilayah yang
termasuk bagian utara Wajo antara lain daerah tempat saya dilahirkan yaitu kecamatan
Keera, Kecamatan pitumpanua, kecamatan sajoanging, Kecamatan Gilireng, dan
kecamatan Maniang Pajo.
Walaupun secara geografis bagian utara
terdiri atas beberapa kecamatan, namun kenyataan yang saya temui di lapangan
ide masih jauh dari realita. Praktis, hanya masyarakat kecamatan pitumpanua
yang “bersuara”. Sebenarnya logikanya sederhana, Di wilayah inilah terdapat
Kota Siwa yang secara infrastruktur cukup mumpuni untuk dapat menjadi
cikal-bakal ibukota wajo Utara. Namun melihat keadaan saat ini, prospek gagasan
ini menjadi realita amat membuat saya optimis.
Dibandingkan dengan daerah di bagian
selatan, beberapa daerah di utara telah menjadi lahan bagi beberapa investor.
Sebut saja, BUMN sekelas Pertamina yang beroperasi di area kecamatan Gilireng dan sebuah perusahaan gas tingkat nasional
yang baru beberapa tahun lalu mulai beroperasi di desa tetangga saya di sebelah
timur, Pattirolokka. Di sektor perhubungan, keberadaan pelabuhan Bansala’e di Kota Siwa telah lama
menjadi penyokong arus ekonomi dan transportasi yang menghubungkan Sulawesi
Selatan dengan Sulawesi Tenggara. Di sektor kesehatan, beberapa tahun silam
telah berdiri sebuah Rumah Sakit Umum Daerah Siwa. Ya,walaupun masih tergolong
rumah sakit kelas 3 ia tetaplah sebuah penanda keseriusan daerah ini
memperjuangkan haknya.
Dan,satu titik kunci yang sempat saya
kunjungi kemarin adalah pembangunan waduk besar di desa tempat ibu kandung saya
dilahirkan, Desa Arajang. Walaupun proyek ini masih butuh beberapa tahun lagi
untuk rampung, ia tetaplah ditunggu oleh kalangan petani di sana, khususnya
Kecamatan Gilireng, Kecamatan Keera, dan kecamatan Sajoanging. Dan mengingat di
sebagian kecil area kecamatan Keera dan Sebagian besar area kecamatan
Pitumpanua telah Menjadi daerah aliran irigasi, tak pelak ini sebuah amunisi
besar untuk membangun ketahanan ekonomi terutama sektor pertanian.
Lantas, dimana masalahnya? Saya pikir hal
ini cukuplah komples untuk saya jelaskan disini. Setidaknya saya ingin
menyinggung salah satunya. Kemajuan sektor ekonomi tidaklah diimbangi
pendidikan politik yang memadaI. Politikus-politikus yang menduduki parlemen
dari daerah ini hanyalah sebagian kecil dari total anggota DPRD Kab.Wajo. Dan
sayangnya, mereka pun belum bersepakat tentang ini. Apalagi berjuang bersama
mengalahkan primordialisme yang masih sanggup bertahan dalam dominasinya di
sektor eksekutif. Saya jadi teringat pesan seorang dosen sekaligus senior,
Kanda Akbar Bahar. Pada kuliah terakhirnya di kelas saya sebelum melanjutkan
studi di Belanda, beliau sempat menyarankan untuk mendalami Farmakopolitik. Entah
hanya sebuah guyonan atau memang serius, bagi saya sebuah kehormatan bagi saya
yang tiada apa-apanya mendapat “amanah” dari senior yang inspiratif seperti
beliau.
Kembali ke persoalan utama, ada
pertanyaan yang masih tersisa di benak saya. Apakah semboyan “Maradeka Towadjoe Ade’na Napopuang” masih
relevan dengan keadaan saat ini?. Saya pun belum menemukan jawabannya hingga
akhir ini. Dalam hemat saya, setidaknya hanya tinggal beberapa daerah yang
menjaga kearifan lokalnya. Salah satunya
ada dalam lirik lagu Bulu Alau’na Tempe. Dalam
salah satu baitnya sang penulis menggambarkan bagaimana masyarakat Tosora menjaga pusaka tenun sutra yang
menjadi ciri khas Kabupaten wajo.
Di tempat lain, ada masyarakat Pammana yang alhamdulillah masih menjaga
warisan kerajaan masa lampau. Dan terakhir Tugu perjuangan di Gilireng sebagai
simbol perlawanan terhadap kolonialisme masa lampau. Namun, Apalah artinya apa
yang konkret dalam pandangan ketika pendidikan gaya kolonial masih
dipertahankan. Seperti halnya di daerah lain , orientasi pendidikan masih berkutat
pada produksi robot-robot ekonomi yang siap melayani kepentingan kapital. Apa
boleh buat,apalah arti pergerakan sektoral melawan isu global. Namun, memang
demikianlah gerakan progresif. Semuanya harus dimulai pada skala sektoral agar
dapat menjadi patron oleh lingkup yang lebih luas.
Dan ketika ditanya apakah Wajo Utara
telah sanggup berpisah dari induknya, Kabupaten Wajo?. Saya yakin jawabannya
masih abu-abu. Meskipun telah dilengkapi dengan faktor-faktor di atas, agaknya
kalau pun terwujud maka ia butuh lebih dari satu dekade. Karena ini bukan hanya
tentang Wajo Utara itu sendiri. Melainkan Wajo yang mungkin sampai kiamat tidak
akan ikhlas untuk melepaskan. Bukan hanya oleh ketergantungan ekonomi dimana
mayoritas Pendapatan Asli daerah (PAD) berasal dari bagian ini. Namun lebih dari
itu, ini dapat membuka peluang bergabungnya Wajo Utara ke dalam koalisi
masyarakat Luwu memperjuangkan Provinsi baru. Secara kultur mungkin tak begitu
identik. Namun, eksistensi beberapa etnis dalam diversitas masyarakat Luwu
telah menjadi bukti proses asimilasi berlangsung positif disana. Ketimbang
berharap panggung politik Sulawesi Selatan yang seolah mempertahankan dinasti
politiknya, rasanya lebih rasional bertarung pada panggung baru yang bisa lebih
menghargai. Makassar Rela? Tentu saja tidak.
Akhirnya Jika saya sedikit membumbui
sisi romansa, maka sebenarnya ini hanyalah hal biasa dalam interaksi antar
manusia. Melepaskan bukan hanya tentang yang dilepas bersedia melangkahi jejak
barunya. Melainkan tentang bisa jadi apa saya tanpanya. Bahagianya dia memang
adalah tujuan. Namun, adakah kata bahagia kunikmati sebagai hak ketika kata
pisah telah dirapal. Bahkan, boleh jadi kehilangan terbesar adalah terhadap hal
yang tidak pernah betul-betul dimiliki.
Panjang
Umur Perjuangan
Wajo,17 Januari 2017
Muhammad Awaluddin
Tidak ada komentar: